Tuesday, January 25, 2011

Post 3


Padang bunga rumput  memutih tanda benih putih di kelopak dandelion sudah matang dan siap  lepas dihembus angin. Sebagian malah sudah beterbangan mengikuti arah angin. Angkasa memutih dipenuhi parasut-parasut mini berwarna putih benih Dandelion. Memutihnya benih diujung pokok dandelion, berselingan dengan menguningnya bunga dandelion yang belum lagi matang dan mengering. 

Seorang gadis berwajah indo Arab berdiri mematung ditengah padang Dandelion. Rambut panjangnya berkibar disapu angin, terbang berlomba dengan seliweran parasut-parasut mini benih dandelion. Wajahnya dibiarkan diterpa benda ringan putih itu.

Tak berapa lama, seorang pemuda menyembul keluar belukar dan memasuki padang. Menentang serbuan parasut mini putih yang beterbangan menerjang tubuh gagahnya. Mereka berdua saling berharapan, diantara hujan salju kering yang memenuhi padang luas.

“Jangan tinggalkan aku !” Perempuan muda berwajah semi Arab ini menghiba, melupakan harga dirinya. Airmatanya bercucuran, benih dandelion yang menerpa wajahnya, langsung menempel dialiran airmata yang mengguliri pipi mulusnya.

“Maaf, Ra, tapi aku harus meninggalkan kamu.” Pemuda itu tak mampu menatap perempuan yang mematung dihadapannya dalam kehancuran.

“Apa kurangnya aku ?” Serak suara si gadis muda, terdengar menggugat keadaan.
Dia menggeleng keras. “Kamu tidak kurang apa-apa. Kamu malah terlalu sempurna. Hanya saja…”

“Kamu mencintainya ?” Tukas si gadis muda.

“Ini bukan lagi masalah cinta. Tapi tanggung jawab.” Dia menunduk seperti pesakitan dihadapkan pada peradilan.

“Tanggung jawab ? Tanggung jawab atas apa ?” Tatapan tajam diantara lentik bulu matanya, makin menggugat.

“Aku telah berbuat dosa dengan dia !” Si pria muda berteriak. Dia sengaja berteriak. Bukan untuk memaksa gadis dihadapannya untuk mengerti, melainkan dia harus berteriak. Karena kalau tidak, dia tak punya kekuatan untuk membuat pengakuan, kalau tidak dengan dipaksakan didorong keluar lewat teriakan. 

Gadis muda itu ambruk, bersimpuh diantara bunga-bunga rumput dandelion. “Kamu bajingan, ‘Ndra !!!” Teriaknya diantara ledakan tangisnya.

“Maafkan aku, Ra !” Pemuda itu membalik badannya, kemudian berjalan meninggalkan si gadis yang tengah bersimpuh dalam nestapanya. Tanpa menoleh. Tanpa belas kasihan. Berlalu dari padang Dandelion yang angkasanya makin sesak dan memutih.

“Indra….Indra !!!”

Yara terbangun. Napasnya terengah-engah. Keringat membasahi tubuhnya padahal AC di ruang kamar hotel tempatnya menginap diset diposisi angka 18. Dia meraih jam tangan yang tergolek dimeja lampu samping kasur. Jam 7. Yara menyingkirkan selimut kemudian beranjak turun dari kasur menuju kamar mandi. Dia harus bersiap-siap. Sebentar lagi Indra akan   menjemputnya dan mereka akan pulang sama-sama kekampung.

No comments:

Post a Comment