Saturday, December 25, 2010

GERHANA PADANG DANDELION


“Kamu harus pulang, ‘Ndra !” Ulang perempuan muda itu, entah sudah yang keberapa puluh kalinya semenjak setengah jam lalu mereka bertemu di kafe ini. Nada suaranya yang makin tegang, tak lagi menyiratkan permintaan dalam kalimat pendek berulangnya, malah cenderung terdengar seperti sebuah suruhan yang sedikit memaksa.

Dan tentu saja kalimat memaksa dari perempuan yang duduk kaku dihadapannya ini membuat Indra jengah. Ingin rasanya dia beranjak meninggalkan perempuan yang baru setengah jam lalu dijumpainya lagi setelah lima tahun tanpa komunikasi ini, kalau saja dia tak ingat tentang penghargaan atas masa lalu. 

“Apa yang menjadikanku wajib untuk pulang ?” Pemuda gagah ini tak lagi mampu menyembunyikan rasa ketersinggungannya atas ‘pemaksaan’ Yara. Simpul senyum sinis menghias sudut bibirnya.

Dan telinga Yara yang menangkap kesinisan, spontan menyampaikan informasi yang didengarnya ke otak. Sang otak yang menjadi bos dari semua organ tubuhnya, refleks mengomando wajah untuk mengalihkan perhatian dari choco granule diatas busa dalam cangkir cappuccino-nya. Mata bulatnya menatap lebar, tapi tak terlihat ekspresi disitu. Hanya keindahan lentik bulu-bulu matanya yang sanggup menyamarkan dingin tatapannya.

“Tak cukupkah masa lalu mewajibkan kamu untuk pulang ?”

Keputusan Yara untuk menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan, membuat Indra skeptis pada komunikasi mereka akan menghasilkan pengertian. Yang dirasakannya saat ini hanyalah komunikasi searah tanpa memerlukan feedback dari pihaknya. Yara cenderung memaksanya untuk merasa bersalah atas masa lalu, agar dia menyerah dan menyetujui permintaannya. Dia tak habis pikir dengan jalan pikiran Yara. Bagaimana mungkin kisah yang sudah bertahun-tahun tertinggal di belakang, harus ditempatkan kembali di hari ini dalam kondisi yang sama ? Tidak ! Jelas saat ini kondisinya telah berbeda. Kondisiku juga berbeda. 

“Masa lalu.” Indra setengah bergumam, tapi terdengat sangat jelas menunjukan resistensi-nya atas ‘serangan’ Yara. Dia berharap bisa balik menyerang dan balik menyalahkan cara berpikirnya yang menempatkan masa lalu masih diposisi sama dihari ini.

Yara tak bergeming dalam mimik semula, dia sama sekali tak terpancing provokasi Indra. Dia merapatkan tubuhnya kedinding kaca kafe. Dahi dan pucuk hidung bangirnya dibiarkan menyentuh kaca, hingga napasnya menghasilkan spot embun yang memburamkan kaca.

“Kalau pertanyaan tentang yang mewajibkan  menjadi faktor terpenting untuk pulang, lalu untuk apa aku jauh-jauh terbang dari Batam ?” Yara tanpa menoleh, hembusan nafas dari mulutnya yang mengurai kalimat datar, makin menambah buram spot embun dikaca. “Dimasa lalu aku hanyalah pemeran pembantu, sedangkan pemeran utamanya adalah kamu dan Fani. Harusnya kamu malu mengajukan pertanyaan itu padaku yang tinggal jauh dipulau lain, dan sekarang ini telah bersusah payah untuk kembali kemari demi masa lalu. Sementara kamu sendiri yang tinggal di Bandung, dan hanya berjarak puluhan kilometer dari kampung kita, masih sangat keberatan  dan malah mempertanyakan apakah wajib ataukah tidak untuk pulang.” Senyum beku menghias bibir indahnya yang dipoles lipstik warna natural. 

Indra menghela napas berat. Lima tahun tak berjumpa, dan Yara yang sekarang sangat brilian dengan caranya untuk memojokannya dalam perasaan bersalah. “Saat ini aku bukan lagi pemeran utama, Ra.” Indra mencoba mengajukan pengelakannya. “Dimasa lalu  memang iya, tapi saat ini…aku pemeran utama dalam kehidupan bersama keluargaku. Aku sudah berkeluarga, Ra.” Ada penegasan diujung kalimatnya.

Yara mengalihkan pandangan, tajam dimata Indra. “Aku tahu.” Sahutnya tegas. “Sekalipun kamu tidak bersedia mengirimkan undangan saat pernikahan kamu, tapi aku tahu.”

Dahi Indra mengernyit, “Aku mengirimkan undangan ke kampung, Ra. Aku tidak tahu alamat kamu di Batam karena kamu tak pernah memberi kabar. Jadi aku putuskan untuk memberikan undangan itu pada Ibu kamu di kampung. Apa Ibu kamu tidak memberi tahu ?”

Sejenak mimik wajah Yara beriak heran, tapi kemudian balik keasal menjadi datar kembali. “Mungkin Ibu merasa tidak enak untuk memberi tahuku.” Ucapnya tenang, lagi-lagi tanpa emosi. “Aku baru tahu kamu telah menikah, dua tahun lalu. Itupun dari Fani saat aku mudik lebaran. Sudahlah, itu tak penting lagi untuk dibahas sekarang.” Yara terlihat enggan mengikuti alur pengalihan topik pembicaraan yang tanpa sengaja tercipta. “Yang jelas, aku tahu kalau kamu sudah menikah. Kalaupun aku memintamu untuk pulang, bukan berarti aku menyuruhmu untuk meninggalkan anak istrimu, kan ? Aku hanya ingin kamu memberikan support pada Fani. Saat ini dia sangat membutuhkan kamu.”

*****SEGERA KEMBALI DENGAN KELANJUTANNYA*****